Dari Konferensi Tenurial di Jakarta
Pemerintah saat ini sedang berusaha sungguh-sungguh untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Sebagian disebabkan oleh konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan tanah, serta ketidakpastian legalitas pemilikan dan penguasaan tanah rakyat, terutama di pedesaan, pedalaman dan pesisir serta pulau-pulau kecil. Pemerintah kemudian mengembangkan:
- Skema redistribusi tanah dan legalisasi aset secara individual maupun komunal serta pemberdayaan ekonomi masyarakat setelah menerima tanah, dan
- Pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan tanah objek reforma agraria, pemberian izin-izin perhutanan sosial melalui skema-skema hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan, dan hutan desa, serta pengakuan hutan adat
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi diselenggarakannya Konferensi Tenurial di Jakarta tanggal 25-27 Oktober 2017, kerja sama antara Kementerian LHK, Kantor Staf Presiden RI, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial. Konferensi diikuti oleh sekitar 540 orang dari seluruh Indonesia dan beberapa negara lain. Salah satu tujuan konferensi adalah meninjau ulang dan merevisi Peta Jalan Tenurial yang dikembangkan pada tahun 2011 dengan menelusuri perkembangan tiga aras yang telah dibenahi, yaitu 1) perluasan wilayah kelola rakyat, 2) resolusi konflik, dan 3) penetapan kawasan hutan.
Pembangunan berkeadilan merupakan program prioritas pemerintah untuk menutupi kesenjangan pembangunan, khususnya di pedesaan, sebagai salah satu alat untuk mewujudkan Nawa Cita. Penguasaan hutan, tanah dan tata pemerintahannya menjadi komponen utama dalam memberikan kesempatan pada kelompok yang selama ini dipinggirkan untuk mendapat aksesnya pada alat-alat produksi (tanam, modal, tenaga kerja beserta pengetahuannya) yang pada gilirannya akan membuka kesempatan ekonomi rakyat baru yang berdasarkan pada prinsip keadilan dan kelestarian. Target pemerintah dalam bentuk Perhutanan Sosial seluas 12,7 hektar dan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar diharapkan dapat menjawab tantangan beragam pola penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari di pedesaan, seperti di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah persawahan, perkebunan rakyat, wanatani rakyat dan wilayah adat.
Ada 11 panel yang ditawarkan pada hari kedua. Wisnu memilih bergabung dengan Panel 3, Pengukuhan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat. Dalam Abstrak Naskah Akademik-nya disebutkan bahwa pengukuhan hutan adat di Indonesia sebagai bagian dari pengakuan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat berjalan lamban. Kelambanan ada pada tatanan regulasi, tatakelola dan ekonomi politik yang kurang memberikan tempat yang selayaknya bagi keberadaan masyarakat adat di Indonesia:
- Tantangan mengimplementasikan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012 untuk melindungi hak-hak masyarakat adat
- Negasi Permen LHK 32/2015 melalui syarat adanya Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam proses verifikasi dan validasi
- Dalam proses legislasi masyarakat adat masih merupakan produk politik yang seringkali tidak bertemu dengan realitas sosio-antropologis di tingkat tapak
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat pada intinya menganut prinsip:
- Penggunaan pengetahuan lokal/tradisional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
- Pemangku hutan wajib mempertahankan fungsi hutan
- Pemerintah, pemerintah kabupaten/kota menghormati dan melindungi hak dan kewajiban masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan adat
- Hutan adat tidak boleh diperjualbelikan baik saat ini maupun anak keturunannya
Maka pemanfaatan hutan adat harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tenurial, yaitu memberikan kepada yang mempunyai basis sosio-historis pengelolaan sebelumnya dan memberikan akses kepada kelompok yang paling rentan dalam masyarakat tersebut. Selain itu, laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam verifikasi dan validasi hutan hak, termasuk hutan adat.