Perkemahan Pemuda Adat

Perkemahan Pemuda Adat

Senin, 29 Agustus 2022

Suhu udara malam di Wisma Nangun Kerthi Bedugul cukup dingin dan berangin. Ada sekitar 30 orang berkumpul dalam ruangan, mengikuti Perkemahan Pemuda Adat: Melibatkan dan Memberdayakan Pemuda sebagai Pemimpin untuk Hutan dan Komunitas. Judulnya memang “perkemahan”, namun karena cuaca saat itu – terutama di kawasan berketinggian di atas 1000 meter dpal, bersuhu sangat dingin dan basah, tidur dalam tenda bukan menjadi pilihan yang tepat. Untuk menghangatkan tubuh dan suasana, kegiatan diawali dengan perkenalan penyelenggara kegiatan dan peserta. Perkenalan peserta dilakukan dengan menyebutkan nama, asal, dan warna kesukaan. Beberapa permainan juga dilakukan untuk menciptakan keakraban dan rasa hangat.

Perkemahan Pemuda Adat merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh WGII (Working Group ICCAs [Indigenous and Community Conserved Areas] Indonesia), NTFP-EP (Non-Timber Forest Products – Exchange Programme), NTFP Indonesia, dan Yayasan Wisnu. Kegiatan difasilitasi oleh RMI (Rimbawan Muda Indonesia). Peserta dari Bali diwakili oleh wilayah yang memiliki areal konservasi, yaitu Adat Dalem Tamblingan dan Banjar Dukuh Sibetan, ditambah Desa Adat Kerobokan sebagai sebuah desa di areal perkotaan. 

Selasa, 30 Agustus 2022

Peserta kembali diminta untuk memperkenalkan dirinya dengan lebih mendalam. Peserta diminta menceritakan kondisi daerahnya masing-masing:

  • Bali: di Bali Selatan lahan pertanian sudah banyak yang berubah fungsi menjadi bangunan sebagai kawasan pariwisata, sementara di Bali Tengah/Utara pohon-pohon besar sudah banyak dirubah menjadi tanaman perkebunan/pertanian
  • Banyuwangi: lahan pertanian juga sudah banyak yang berubah menjadi hotel
  • Sigi, Sulawesi: lahan pertanian dan perkebunan di dekat kawasan hutan
  • Merauke, Papua: Suku Marin bertempat tinggal di pantai dengan pondok tradisional dalam lahan perkebunan kelapa. Kelapa dimanfaatkan untuk minyak kelapa. 

Perkenalan diri peserta dilakukan dengan cara menggambar dan menceritakan mandala diri, melalui simbol diri, cita-cita, kekuatan, dan pencapaian diri setiap peserta. Mandala diri dituangkan dalam kertas putih, menggunakan gambar atau tulisan yang ada di koran, yang mewakili apa yang ingin disampaikan. 

Setelah itu peserta dibagi ke dalam tiga kelompok, mendiskusikan setiap isu yang diberikan oleh fasilitator, apakah setuju atau tidak setuju atas isu/pernyataaan yang diberikan, seperti:

  • Ekowisata telah merubah wajah desa. Manfaatnya tidak sebanding dengan resiko kerugiannya.
  • Pemuda banyak tidak mengetahui budaya/adatnya sendiri. Adat ditinggalkan karena tidak memberikan manfaat. 
  • Pembangunan ekonomi di desa harus diutamakan. Pengorbanan masyarakat diperlukan.
  • Pendidikan formal tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di desa/masyarakat adat.
  • Masyarakat adat yang tinggal di hutan merusak hutan dan perlu direlokasi agar tidak merusak hutan.
  • Perempuan adat seringkali mengalami diskriminasi dari kelompoknya sendiri.

Hal yang menarik selanjutnya adalah peserta diminta menuliskan dan menceritakan Perubahan dalam Jangka Waktu 30 Tahun di desa masing-masing. Secara umum, terjadi perubahan yang membawa dampak positif dan negatif. Perubahan positif terjadi di bidang ekonomi dan teknologi, namun dalam bidang sosial dan lingkungan mengalami penurunan kualitas yang sangat besar. Hal paling terasa adalah suhu udara saat ini tidak lagi sedingin dulu, mata air banyak yang mengering dan kualitasnya menurun, hutan menjadi perkebunan atau lahan pertanian atau bahkan beton, keanekargaman berkurang, tanah berkurang kesuburannya. Sementara itu, dalam bidang sosial, permainan tradisional sudah lagi tidak dimainkan dan ritual adat mengalami pergeseran, juga obat dan pengobatan tradisional sudah tergantikan dengan obat kimia dan puskesmas/dokter.

Malam hari, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi terkait areal konservasi. Bahwa konservasi harus dilakukan secara inklusif, yaitu tidak boleh terpisahkan antara lingkungan alam, binatang, dan manusianya. Hal itulah yang mendasari pengelolaan kawasan hutan, melalui pendekatan berbasis hak asazi manusia dan kearifan pengetahuan lokal. Peserta juga diminta untuk mengidentifikasi tempat-tempat penting yang ada di desanya. Sebagian besar menyebutkan hutan dan sumber air sebagai kawasan yang perlu dikonservasi, juga tempat-tempat untuk ritual adat/agama. 

Rabu, 31 Agustus 2022

Berkunjung ke Alas Mertajati – hutan dan danau Tamblingan, untuk berbagi tentang pengelolaan hutan dan tantangan yang dihadapi. Pengenalan atas Alas Mertajati diawali dari Bale Melajah, kemudian ber-pedau ke Pura Dalem Tamblingan, dilanjutkan dengan treking menyusuri hutan dan kembali ke Bale Melajah. 

Setelah tiba di Bale Melajah dan menikmati makan siang, peserta kembali dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok Lingkungan, Sosial Budaya, Ekonomi, dan Para Pihak. Setiap kelompok ditugaskan untuk mewawancarai beberapa orang terkait tema masing-masing, untuk mengetahui kondisi dan perubahan yang terjadi di kawasan Adat Dalem Tamblingan:

  1. Sosial Budaya: masyarakat ADT memiliki ritual lilitan karya, berjalan ke arah utara sejauh sekitar 21 km hingga ke pantai. Ada 17 pura yang tersebar di dalam hutan. Alat musik rindik dahulu dimainkan saling bersahutan antarwarga, namun saat ini hanya yang tergabung dalam perkumpulan. Permainan tradisional gasing sudah semakin jarang dimainkan.
  2. Ekonomi: sebagian besar wilayah ADT difungsikan sebagai perkebunan kopi dan cengkeh yang merupakan pendatapan utama. Sebelumnya, sekitar tahun 1970an bersumber dari sawah, vanili, dan tanaman perkebunan lainnya. Sumber ekonomi lainnya adalah pariwisata. Masyarakat membentuk kelompok Brasti yang salah satu kegiatannya adalah menjual produk lokal yang keuntungannya digunakan untuk kegiatan konservasi.
  3. Lingkungan: perubahan terjadi pada iklim, suhu, mata air, dan flora-fauna. Air danau mulai suruh, tanaman kopi di sekitar areal hutan digantikan oleh bunga dan sayur. Salah satu tanaman penaung kopi adalah dadap yang sangat baik menyimpan air, juga sebagai tempat hidup ulat. Saat ini ulat menjadi hama karena tidak ada lagi pohon dadap. Capung dan mata air banyak berkurang, udara tidak sedingin dulu, musim panen cengkeh tidak lagi beraturan.
  4. Para Pihak: ada investor asing yang ingin membangun/mengembangkan kawasan wisata. Salah satu divisi dalam Brasti adalah Jejaring, bertugas untuk mengkomunikasikan dan mengakses kerjasama dengan para pihak. Tantangan besar yang dihadapi Brasti adalah kurangnya keinginan anak muda untuk telibat dalam kegiatan konservasi.

Selanjutnya para peserta membuat Rencana Tindak Lanjut, terkait komitmen pribadi, hal-hal yang bisa dilakukan dengan kelompoknya di desa, juga kegiatan yang bisa dilakukan dalam jaringan Perkemahan Pemuda Adat. Hal baiknya adalah, hampir semua peserta berkomitmen untuk melakukan dan mengajak kelompoknya melakukan kegiatan-kegiatan konservasi dan mengelola kawasan adat. Selamat !!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.