Mengolah Kekayaan Indonesia: UMBI!
Indonesia adalah negara yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Satu di antaranya adalah UMBI, seperti ubi, talas, gadung, dan ketela ungu. Masyarakat Dani di Wamena, megenal ratusan jenis umbi – mereka menyebutnya hipere. Sementara di Yogyakarta, sedikitnya ada 65 jenis umbi yang dikenal. Bali sendiri, mempunyai sedikitnya 75 jenis umbi yang bisa diolah!
Sayangnya, saat ini puluhan bahkan ratusan jenis umbi tersebut berhasil ‘dikalahkan’ oleh satu jenis pangan yang sangat terkenal dan kita dibuat tergantung padanya: BERAS. Melalui sistem dan kebijakan yang telah dibangun puluhan tahun sejak zaman ‘penjajahan Belanda’, masyarakat yang memiliki puluhan bahkan ratusan umbi dikatakan miskin jika tidak mengkonsumsi beras. Padahal, tidak mungkin tanah kering di Papua atau di Bali bisa ditanami padi. Akibatnya, ketergantungan pada pihak luar menjadi sangat tinggi karena tidak mau dikatakan miskin.
Kita bisa belajar dari masyarakat adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sejak hampir seabad lalu, tahun 1924, mereka selalu mengkonsumsi rasi – nasi singkong. Beras yang dinilai sebagai simbol penjajahan, dilawan dengan kearifan “tak punya sawah asal punya padi, tak punya padi asal punya beras, tak punya beras asal bisa menanak, tak menanak nasi asal makan, tak makan asal kuat”. Artinya, makan tidak harus nasi … bisa makan apa pun asalkan kuat. Kearifan ini digunakan untuk melawan Belanda yang ketika itu menguasai distribusi beras, sementara lahan di desa tersebut tidak cocok ditanami padi.
Rasi adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan, juga bentuk terhadap kemandirian pangan. Mengkonsumsi pangan yang tumbuh dari lahan sendiri artinya tidak tergantung pada suplai bahan pangan dari pihak luar. Dengan tidak tergantung pada satu jenis pangan, apalagi yang berasal dari luar, kita semakin mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mulai dirasakan.
Maka, Minggu 25 September 2011 dipilih sebagai hari untuk mengadakan pelatihan pengolahan umbi. Kegiatan dimulai pada jam sembilan padi, difasilitasi oleh Ibu Sri Mulyani dari Fakultas Teknologi Pertanian Unud. Ibu Sri ditemani rekannya dari fakultas yang sama, Ibu Puspawati dan Ibu Sri Wiadnyani. Kegiatan diikuti oleh ibu-ibu dan pemudi dari Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsing, Selat Buleleng, dan Pengubengan Kerobokan. Ditambah mereka yang tertarik dengan diversifikasi olahan umbi.
Ada banyak olahan umbi yang bisa dibuat, namun ketika itu hanya dibuat beberapa olahan, yaitu kue mangkok ubi ungu, chips talas, cookies singkong, brownies ubi ungu, dan selai ubi ungu. Hampir semua berbahan dasar tepung umbi, jadi dilatih juga cara membuat tepung umbi. Untuk singkong dan ubi ungu melalui proses yang sama, yaitu umbi bisa langsung dikeringkan dengan oven atau matahari setelah dicuci dan dipotong kecil tipis, sebelum dijadikan tepung. Namun untuk talas, talas yang telah dicuci dan dipotong-potong harus direndam dulu dalam larutan garam 7,5% selama 12 jam sebelum dijemur. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan getah yang bisa menimbulkan rasa gatal di lidah.
Nyam … menjelang makan siang, semua olahan sudah bisa dicicipi. Semua habis tak bersisa. Satu hal yang menjadi PR: adakah kelompok yang mau serius membuat olahan umbi, sehingga bisa menarik minat banyak orang untuk mulai mengkonsumsi umbi?