“Sobo” ke Wonosobo
Kedatangan kami ke Wonosobo atas undangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo untuk menjadi salah satu pemateri dalam kegiatan Training #1 Cagar Kuliner. Sebagai panitia pelaksana yang sesungguhnya adalah para pengelola Pasar Kumandang yang dikomandoi oleh Mas Sigit Martono. Sobo ke Wonosobo atau Jalan-jalan ke Wonosobo dilakukan selama 4 hari, 3 – 6 November 2019.
Pasar Gemblung Magelang
Deklarasi “Pilkades Damai” menyambut kami ketika memasuki Pasar Gemblung, pasar kuliner tradisional yang terletak di perbatasan Yogyakarta – Jawa Tengah. Semakin terkesan tradisonal karena setiap lapak kuliner dibuat dari bambu, berada di antara pohon bambu dan gamelina. Setiap peralatan yang digunakan adalah peralatan “masa lalu” yang ramah lingkungan. Mata uang yang digunakan adalah geblo, terbut dari batok kelapa. Satu geblo nilainya sama dengan Rp 1.000,- Ada juga geblo yang terbuat dari stainless yang bernilai Rp 5.000,-
Pasar Gemblung – gembira dan tidak linglung merupakan sister pasar dari Pasar Kumandang di Wonosobo. Keduanya digagas oleh orang yang sama, yaitu Mas Sigit Martono. Pasar dibangun dan dikembangkan secara swadaya, di atas tanah bengkok Pak Dusun. Setiap lapak dibangun sendiri oleh para pedagang, setelah mendapatkan lokasi dengan cara diundi. Desain, dekorasi, dan menu dibuat berdasarkan kreativitas pedagang. Ketika berjualan wajib mengenakan pakaian Jawa, dan sebagian besar menggunakan lurik.
Gemblung adalah kependekan dari gemah ripah bebarengan lantaran lung-tinulung, sejahtera bersama karena saling tolong-menolong. Hanya buka di hari Minggu, setelah berjalan selama sekitar enam bulan, kunci keramaian Pasar Gemblung terletak pada banyaknya jumlah lapak, promosi melalui media sosial, dan selalu ada pertunjukan seni rakyat setiap minggunya. adalah Senangnya berfoto bersama Pak Penggagas, Lurah Pasar, Pak Dusun, dan Mas Pengelola. Juga, ber-swafoto bersama Pak Bupati Magelang. Bun-cissssss …
Cagar Kuliner di Pasar Kumandang
Selamat datang di Pasar Kumandang, Wonosobo (sayang ketika tiba di Wonosobo, Pasar Kumandang sudah tutup – dan pasar hanya buka di hari Minggu dari jam delapan pagi hingga dua siang). Tanpa aktivitas jual-beli, pasar terkesan sangat “Jawa” … sederhana, adem, bersahabat, menyatu dengan alam dan kehidupan. Kami datang untuk mengikuti kegiatan Training #1 Cagar Kuliner. Salah satu kuliner lokal yang disajikan panitia adalah sego megono dan tempe kemul.
Menurut Mas Agus Supriyadi, Wonosobo dikelilingi oleh gunung dan perbukitan, yaitu Gununga Sindoro, Sumbing, Dieng, dan Indrakila, juga Bukit Perahu, Sikunir, dan Bisma. Ada tiga sungai besar yang mengaliri Wonosobo, yaitu Sungai Serayu, Bogowonto, dan Kali Galuh yang menjadi sumber air bagi 15 kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Wonosobo juga memiliki ribuan mata air, salah satunya mata air Mangli yang dimanfaatkan sebagai sumber air Aqua. Kabupaten Wonosobo dihuni oleh sekitar 800.000 jiwa, dan 60% di antaranya berprofesi sebagai petani yang tergolong petani miskin dan buruh tani. Ada 111 desa bersentuhan dengan hutan, dan wono – wana sendiri berarti hutan.
Tantangan yang dihadapi Wonosobo secara umum adalah eksploitasi kawasan gunung untuk pariwisata dan rumput penahan tanah yang sudah digantikan dengan jalan beraspal, sehingga sering terjadi longsor tanah. Kawasan Dieng dan Gunung Perahu, Sikunir rata-rata dikunjungi oleh 10.000 orang per hari. Selain itu juga ditemukan banyak sampah, di antaranya satu karung sandal bekas di Gunung Kembang, ditambah lagi tanah tercemar air limbah, dan kawasan air sungai sudah rusak. Perbukitan/ Gunung Sindoro dipenuhi dengan aktivitas penambangan liar Galian C yang menghilangkan 2000 mata air.
Cagar Kuliner merupakan satu konsep dengan tiga nilai utama, yaitu konservasi, revitalisasi, dan kreativitas, dalam hal memelihara lahan pekarangan dan lahan persediaan pangan. Ketiga nilai tersebut terkait dengan sistem pengetahuan, desain dapur, lahan pertanian, kecukupan gizi, bumbu dan rasa. Konsep inilah yang nantinya diharapkan mampu merespon cita-cita masyarakat global, yaitu menjaga planet, people, prosperity, peace, partnership. Namun hal utama adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal dari sumber daya yang dimiliki, juga siap menghadapi bencana. Demikian penjelasan tambahan dari Mas Benito Lopulalan.
Yayasan Wisnu, diwakili oleh Lisa Ismiandewi, mendapat kesempatan untuk ikut menjadi salah satu pemateri pada Training Cagar Kuliner di Pasar Kumandang. Kuliner lokal yang dikembangkan di Bali salah satunya ditujukan sebagai bagian dari kegiatan ekowisata. Contoh ekowisata dan kuliner yang ditampilkan adalah Panca Desa Bali Aga yang memiliki kekayaan pangan lokal.
Satu hal yang menarik dalam training tersebut adalah praktik memasak kuliner lokal. Bahan-bahan sudah disediakan oleh panitia, dan peserta mengolahnya sesuai dengan kesepakatan di antara anggota kelompok. Makanan yang dihasilkan meliputi appetizer hingga dessert, ditata secara menarik dan mengundang selera makan. Hal menarik lainnya dari acara ini adalah, penutupan training dilakukan seperti wisuda. Bedanya, toga diganti dengan caping. Lempar caping ke atas … !!!
Satu hal yang menarik di dekat Pasar Kumandang adalah keberadaan Situs Bongkotan. Batu berupa lingga terlihat sangat jelas, tapi saya tidak yakin apakah batu yang ada di sebelahnya adalah yoni. Sepertinya bukan … karena seperti ini penjelasan di Situs Bongkotan, Wonosobo, “Yoni berdiri di atas tanah dengan cerat menghadap kea rah timur-laut. Cerat ini disangga oleh hiasan bergambar naga yang kepalanya telah hilang. Naga dilukisakan dalam sikap berdiri dengan kulit (sisik) di tubuhnya … Tinggalan arkeologis dalam situs yang ditemukan selanjutnya adalah pilar. Pilar ini berbentuk mirip lingga, yaitu bagian atas agak bulat, sedangkan bagian bawah seperti bentuk segi empat, tetapi tidak mempunyai sudut. Pilar ini berdiri tertancap di dalam tanah sekitar 13 meter berada di sebalah barat yoni.” Sayang waktu itu gerbang dikunci, jadi kami tidak bisa masuk ke areal situs. Hal menarik lainnya adalah, ada bunga dan daun segar seperti canang. Artinya situs ini masih dipelihara dengan penuh keyakinan.
Wadas Lintang: Lancar, Kampung Mendo – Kumejing, dan Somogede
Wadas Lintang memiliki kekayaan sumber daya alam yang tinggi, terutama yang terkait dengan bahan pangan lokal. Tiba di Desa Lancar sekitar jam satu malam, kami menginap di rumah Mbak Eni. Sebetulnya tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo, tetapi jalan menuju ke Desa Lancar yang tidak lancar. Ada banyak bagian aspal jalan yang rusak dan berlubang. Tapi semuanya terbayar saat bangun di pagi hari. Golak yang terbuat dari pati singkong, utri dari beras cempak, bakwan, kripik gadung, wedang jahe. Golak paling enak dibungkus dengan daun jati untuk mendapatkan aroma khas daun jati. Sementara untuk sarapannya ada leye atau nasi tiwul, tempe kedelai dan tempe gembus, telur dadar, dan pecel. Pecel yang disajikan terdiri dari aneka dedaunan, yaitu kenci atau selada air, lobor, kubis, timun, dan terong bulat.
Saat obrolan pagi hari, hal menarik yang masih bisa ditemui adalah pasar dengan sistem barter. Sebagai “mata uang” yang banyak digunakan adalah kelapa. Tiga kelapa bisa ditukar dengan satu kilogram beras, juga bisa ditukar dengan minyak dan gula. Bahkan kelapa bisa digunakan untuk membayar jasa, misal sebagai ongkos tukang kebun. Selain kelapa, barang yang juga banyak ditukar adalah kapulaga yang nilainya lebih mahal dibanding kelapa. Hanya dibutuhkan satu kilogram kapulaga untuk mendapatkan tiga kilogram beras.
Pak Margono adalah salah seorang perantara bagi petani untuk memenuhi kebutuhannya. Pada setiap Wage, Pak Margono berprofesi sebagai pedagang sekaligus pembeli. Pergi ke Pasar Wage dengan membawa sekitar 700 butir kelapa dan 100 kg kapulaga (di musim panen bisa membawa hingga satu ton kapulaga). Harga kelapa saat ini mencapai Rp 4.000,- tetapi di musim panen raya hanya Rp 500,-.
Selesai obrolan pagi, perjalanan dilanjutkan ke Kampung Mendo – kampung kambing di Desa Kumejing. Hampir semua keluarga memelihara kambing, seperti yang dilakukan Mas Mendo. Saat ini kambing diberik pakan ternak hasil fermentasi, sehingga lebih mengirit waktu dan tenaga. Mas Mendo juga mencoba beternak domba wonosobo yang nantinya akan dipanen bulunya. Profesi sebagai peternak kambing sudah dilakukan warga Kampung Mendo sejak dulu, bahkan ketika permukiman desa masih berada di “bawah”, pada lokasi yang saat ini dijadikan sebagai waduk Wadaslintang. Ada pola konsumsi yang berubah ketika warga harus pindah pada tahun 1980-an. Tidak ada lagi tumbuhan liar di sekitar areal sawah (ketika itu) yang bisa dijadikan sebagai sumber pangan untuk saat ini.
Dari Kumejing kami kembali ke Desa Lancar, mampir sejenak di green house Mas Fajar. Ada banyak pohon kelapa yang tumbuh di sekitarnya, pada lahan-lahan berteras … mengingatkan kami pada Bali. Terlebih lagi ketika melewati areal persawahan/ perkebunan di Desa Somogede, persis seperti desa-desa di Bali dengan terasering sawahnya, walaupun ketika itu belum waktunya bertanam padi. Mungkin memang dari Wonosobo-lah asal mula puwakan, swakan, subak yang dibawa oleh Rsi Markandya.
Pada dasarnya Wonosobo sangat kental dengan peninggalan masa lalu Siwa Budha, masa kejayaan Sanjaya-Syailendra. Ketika tiba di Kalianget, Somogede ada satu artefak yang menarik perhatian saya, sayangnya tergeletak begitu saja di pojok bangunan kamar mandi. Menurut informasi Pak Bagyo, artefak itu merupakan bagian dari artefak lain berbentuk meja yang terletak di atas bukit. Menurutnya, sudah ada rencana untuk mengembalikan artefak tersebut ke tempat asalnya. Semoga …
Karena saya membayangkan daerah Kalianget mungkin dulunya adalah sebuah kerajaan kecil. Sumber air yang dialirkan ke kamar mandi dulunya seperti permandian dengan batu-batu alami. Sayangnya saat ini sudah disemen, pipa aliran air juga berseliweran, terkesan tidak terawat. Mungkin karena kami tiba di malam hari. Padahal, airnya yang hangat cenderung panas sangat bening.
Dan, terima kasih pada Dyla yang telah memberikan surprise cards. Hasil karya yang akan selalu mengingatkan saya pada Wonosobo. Sebagai catatan, sebelumnya saya sudah dua kali ke Wonosobo. Pertama pada sekitar tahun 1994-1995 ketika KKL III. Kuliah Kerja Lapangan di Desa Kertek. Sayang sudah lupa waktu itu temanya apa. Lalu pada sekitar tahun 2003, berkunjung ke teman-teman JKPN. Hal yang paling saya ingat ketika itu adalah, ada banyak sekali pedagang makanan di Alun-alun Kota Wonosobo.
ditulis oleh: Atiek Kurnianingsih