Nilai dari sebuah Pewarna Alami

Nilai dari sebuah Pewarna Alami

Industrialisasi yang cepat mengedepankan tingkat produksi yang tinggi dan harga yang sangat kompetitif. Perusahaan-perusahaan memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk menekan harga untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas. Lingkungan tidak jarang menjadi korban dari cepatnya pertumbuhan industri. Fenomena ini juga berlaku pada produsen kain tenun tradisional di Desa Tanglad, Nusa Penida. Warga di Tanglad sudah membuat kain tenun sejak jaman dahulu secara turun temurun. Produksi kain tenun di Nusa Penida secara umum menandakan tingkat status sosial. Ketika warga semakin ahli dalam menenun, maka dia akan diasosiasikan dengan status sosial yang lebih tinggi. Industrialisasi yang terjadi dalam sektor ini adalah penggunaan pewarna sintetis untuk kain tenun. Pewarna sintetis terbukti mempercepat hasil produksi, membuat warna kain menjadi tahan lama dan membuat kain tenun menjadi lebih murah, sekaligus menggeser produksi kain tenun sebagai penanda status ekonomi alih-alih status sosial. Faktanya dulu kain tenun dibuat sendiri di rumah untuk keperluan upacara adat, bukan untuk dijual.

Banyaknya pengguna pewarna sintetis menyebabkan kelompok tenun di Desa Tanglad sudah kehilangan informasi mengenai Teknik membuat pewarna alami yang sudah menjadi warisan leluhur mereka sejak sangat lama. Sedari dulu kain Cepuk dan Rangrang selalu menggunakan pewarna alami karena fungsinya di dalam upacara adat. Kain-kain ini tentu akan kehilangan taksu apabila dibuat menggunakan pewarna sintetis. Hal ini yang menjadi motivasi I Gede Agustinus Darmawan, seorang pelukis mural, untuk membangkitkan semangat penenun di Nusa Penida dalam menggunakan pewarna alami. Alam sejatinya sudah memberikan kita warna-warna dasar yang dibutuhkan kain penenun. Contohnya adalah warna hitam dan hijau tua dengan menggunakan Daun Ketapang selain itu ada juga warna biru dan ungu dengan memanfaatkan Daun Nila atau Tarum. Warna-warna terang seperti merah dan juga kuning dapat dibuat dengan menggunakan Daun Mahoni dan juga kulit kayu Mangga. Berbekal informasi ini, Agus menyelenggarakan pelatihan penggunaan warna alami kepada ibu-ibu penenun. Pelatihan ini dibagi menjadi dua tahap kegiatan. Kegiatan pertama dimulai pada bulan Oktober 2018 dan berakhir pada awal 2019, sementara kegiatan kedua dimulai pada pertengah tahun 2019 dan berakhir pada awal tahun 2020. Adapun jenis pelatihan yang diberikan adalah pengenalan tanaman pewarna alami, dari cara merebus bahan pewarna sampai cara mencelup benang ke dalam larutan pewarna alami.

Natural Dye Nusa Penida

Pelatihan dari Agus berhasil membuat penenun tertarik untuk menggunakan pewarna alami, hasil ini sekaligus menyebabkan masyarakat di Desa Tanglad kembali membudidayakan tanaman-tanaman pewarna alami. Memang masyarakat masih tertarik dengan pewarna sintetis karena perputaran uangnya lebih cepat, tetapi mereka juga sudah memiliki motivasi dalam diri untuk terus melestarikan kain Cepuk dan Rangrang yang dibuat secara alami. Pewarna alami dalam kain Cepuk tidak hanya menggambarkan kecantikan kain tenun itu sendiri, tapi juga sebagai simbol dari hubungan yang harmonis antara lingkungan sebagai penyedia sumber daya dan manusia sebagai pihak yang membuat karya untuk dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui upacara-upcara adat di Nusa Penida.

Leave a Reply

Your email address will not be published.