Sinau di Pesinauan Osing

Sinau di Pesinauan Osing

Baga Raksa Alas Mertajati  (BRASTI) adalah sebuah lembaga perkumpulan masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) di Catur Desa. Lembaga ini didirikan sebagai  bagian dari upaya permohonan Alas Mertajati sebagai Hutan Adat, ditujukan untuk mengenali, menata, dan mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada. Selain itu, ditujukan juga untuk memfasilitasi aktivitas-aktivitas MADT di bidang sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya. 

Tanggal 3-5 Maret 2023, Yayasan Wisnu bersama BRASTI melakukan studi banding ke Banyuwangi. Studi banding ke Sekolah Adat Osing, untuk mempelajari model pendidikan adat yang dilakukan, juga kurikulum dan bahan belajar bagi generasi muda. Kegiatan ini ditujukan untuk membangun model pendidikan adat serta lingkungan bagi generasi muda yang berkarakter dan berintegritas dalam mengelola pengetahuan, juga memaknai tradisi masyarakat pemulia air.

Jumat, 3 Maret 2023

Kami, 17 orang, berangkat dari Don Biu – Munduk dengan tiga mobil. Tujuan pertama adalah De Djawatan Perhutani Benculuk. Sebelumnya kami menjemput Dio di Desa Cungking, desa kota yang konon adalah cikal bakal masyarakat Osing. Nama De Djawatan ditujukan untuk mengingatkan, bahwa tempat ini merupakan lokasi kejayaan Perum Perhutani yang dulunya bernama Djawatan Kehutanan. Pohon suar (trembesi) berukuran besar tumbuh subur, dan setiap dahannya ditumbuhi aneka jenis paku. Saya perkirakan usianya sudah lebih dari 100 tahun. 

Dari Benculuk kami meluncur ke Pura Blambangan, pura terbesar di Banyuwangi dari 92 pura yang ada. Pura ini dipugar pada tahun 1974 yang awalnya adalah situs Umpak Songo, peninggalan Kerajaan Blambangan. Masyarakat setempat meyakini bahwa wilayah di sekitar Pura Blambangan, yaitu Desa Blambangan, dulunya adalah pusat Kerajaan Blambangan yang bercorak Hindu-Budha. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang yang mengasingkan diri dari Kerajaan Majapahit ketika mengalami keruntuhan pada abad ke-15. Kerajaan Blambangan berdiri selama sekitar 200 tahun, hingga kemudian jatuh ke tangan Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1743 M. 

Perjalanan dilanjutkan ke Desa Kemiren, salah satu desa yang didirikan dan dihuni oleh suku Osing. Nama Kemiren berasal dari kata “kemiri” dan “duren” karena dulunya, pada masa awal pembukaan wilayahnya tahun 1830-an, ada banyak kedua pohon tersebut di dalam areal hutan yang dibuka untuk perkampungan. Berdasarkan catatan sejarah Desa Kemiren (kemiren.com), wilayah Kemiren dulunya adalah hamparan sawah dan hutan miliki warga Desa Cungking. Saat itu, warga Cungking memilih bersembunyi di sawah untuk menghindari tentara Belanda. Hingga akhirnya warga Desa Cungking tersebut memilih untuk menetap di tempat persembunyiannya, Desa Kemiren.

Kami menginap di Desa Kemiren, di homestay milik warga. Makan malam yang disajikan Mak Sus dan mak-mak lainnya adalah makanan rumah yang enaknya aduhai. Sayur uyah asem (campuran daun melinjo, kacang panjang, dan ayam kampung), gimbal urang dan gimbal jagung, juga kue klemben sebagai dessert. Setelah makan, kami berpisah ke penginapan masing-masing. Rata-rata dua orang di satu penginapan. Salah satunya di rumah Mak Nitrin. Rumah sederhana yang bersih dan rapi, Mak Nitrin tinggal bersama suami dan anak keduanya.

Sabtu, 4 Maret 2023

Suara adzan subuh sudah terdengar pada sekitar jam empat. Sinar matahari sudah terlihat cukup terang pada jam 5 pagi dan jam 6 sudah sangat terang, Mak Nitrin sudah menyiapkan bekal untuk dibawa suaminya ke sawah. Rumah-rumah di sepanjang gang terlihat sepi dan tampaknya ada beberapa rumah yang kosong. 

Kegiatan hari ini akan dimulai saat makan siang. Maka, untuk mengisi waktu luang, ada satu rombongan yang berkeliling Banyuwangi, dan rombongan lain berkeliling Kemiren. Bermodal Google Maps, rombongan Kemiren berusaha mencari kawasan rumah adat Osing di Sukosari. Hanya ada sekitar 12 rumah adat dan suasananya sangat sepi. Jadi diputuskan mencari tempat ngopi saja. Namun ternyata Umah Kopi hanya buka di hari Minggu ketika hari pasaran. Ada juga yang buka tiap hari, tapi baru buka menjelang sore.

Sekitar jam 12 kami ber-17 jalan kaki bersama-sama ke Pesinauan Adat Osing di Desa Olehsari, desa tetangga Kemiren. Sekolah Adat Osing terletak di tengah areal persawahan milik keluarga Cak Sul, dengan bangunan setengah terbuka. Acara diawali dengan makan siang berbasis pangan ritual, yaitu pecel pitik, ditemani kulawu (baca: kulawau), gimbal jagung, dan telur kecap. 

Pecel pitik dibuat dari ayam kampung muda yang dipanggang, kemudian dicampur dengan parutan kelapa muda dan aneka bumbu, termasuk kemiri. Pada dasarnya pecel pitik merupakan menu yang disajikan ketika ritual Tumpeng Sewu, Barong Ider Bumi, atau slametan. Orang tua atau yang dituakan dipersilakan untuk mengambilnya lebih dulu. Lalu, sebagai camilan, disajikan sumping pati (baca: sumping patai). Jika sebuah kata berakhiran –i, akhiran kata tersebut dibaca –ai, dan jika berakhiran –u dibaca –au.

Gesah atau ngobrol santai di Pesinauan ditemani Cak Sul, Pak Anas, Jaka, Dio, Mbak Wiwin, dan Jorgi. Ide tentang sekolah adat mulai dibicarakan sejak tahun 2016, namun keberadaannya baru diresmikan pada tahun 2021. Lembaga ini berada di bawah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Pengurus Daerah Osing yang terdiri dari 16 komunitas adat. 

Masyarakat suku Osing terdiri dari banyak komunitas adat yang tersebar di lebih dari 90 desa/kelurahan. Karena tersebar di banyak desa/kelurahan, masyarakat Osing tidak memiliki struktur dan aturan adat tersendiri, sehingga tidak bisa ditetapkan sebagai Masyarakat Hukum Adat, melainkan sebagai Masyarakat Adat. Pesinauan Osing diharapkan bisa menjadi tempat berbagi, belajar, dan berkumpul bagi komunitas-komunitas adat Osing yang ada.

Kegiatan yang dilakukan ketika menyiapkan sekolah adat adalah rembug komunitas, menyiapkan kurikulum dan materi, serta menetapkan kelompok sasaran Saat ini, Pesinauan Osing menerapkan kurikulum tari, membaca lontar, membuat anyaman, mengidentifikasi pangan ritual, juga membangkitkan dan memaknai ritual.

Lalu, setelah puas berdiskusi, mari berlatih tari Gandrung. Berdasarkan kemdikbud.go.id, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan (gandrung lanang), dengan iringan kendang dan biola. Namun, sekitar tahun 1890-an gandrung lanang perlahan berkurang dan hilang dari pentas Tari Gandrung Banyuwangi pada tahun 1914. 

Gandrung perempuan pertama ditarikan oleh Semi, seorang anak yang pada tahun 1895 berusia sepuluh tahun. Ketika itu Semi menderita penyakit cukup parah, hingga Mak Midhah – ibu Semi bernazar, “Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak sembuh ya tidak jadi”. Semi akhirnya sembuh dan menjadi Seblang, sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh perempuan. Tradisi gandrung yang dilakukan oleh Semi kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. 

Minggu, 5 Desember 2022

Jam 6 pagi kami sudah berkumpul di rumah Mak Sus dan berjalan-jalan ke Pasaran Jajanan Kampung Oseng Kemiren. Aneka jenis olahan pangan khas Banyuwangi bisa kita temui di sini: kucur, tape buntut, ketot, apem, kelemben, precet, serabi, sawut, jongkong, sabrang, ketan kutil, dan olahan lainnya. Ada beberapa jenis panganan yang sama dengan Bali, seperti sumping dan celorot. Ada juga pertunjukan musik lesung yang dimainkan oleh orang tua. 

Perjalanan dilanjutkan ke rumah adat Osing di Sukosari, melewati jembatan yang terbuat dari besi, dengan botol-botol kaca di kiri kanannya sebagai lentera. Sawah dan kebun cabai terhampar sebelum memasuki kawasan permukiman. Ada satu bale bambu berukuran sangat tinggi dengan dua alat musik seperti rindik saat akan memasuki jalan permukiman. Sepuluh rumah saling berhadapan di kiri-kanan jalan utama. Bagian depan rumah terbuat dari kayu dengan bentuk yang hampir sama, terlihat masih baru. Sementara itu, bagian samping dan belakang rumah terbuat dari bambu dan terlihat sudah lebih lama dibanding bagian depan.

Kami masuk ke dalam salah satu rumah dari bagian belakang, milik sepasang kakek-nenek (Kakek pernah mengadu nasib di Buleleng). Bagian dalam cukup luas, tanpa sekat, difungsikan sebagai tempat tidur, ruang keluarga, sekaligus dapur. Pencahayaan dan sirkulasi udara masuk-keluar dari celah-celah gedheg yang terbuat dari anyaman bambu. Menurut informasi Cak Sul, warga yang tinggal di perkampungan adat ini merupakan satu keturunan keluarga.  

Kemudian kami ke Petilasan Buyut Cili, leluhur dan penghuni pertama Desa Kemiren, seorang begawan Hindu-Budha dari Blambangan. Buyut Cili dan Mbah Sapuah yang menemani Beliau, mempunyai pengetahuan mumpuni tentang bercocok tanam. Berkat pengajaran dari keduanya, hasil pertanian warga menjadi melimpah. Lama-kelamaan semakin banyak warga yang belajar dan nyantrik ke Buyut Cili.

Warga meyakini Buyut Cili sebagai orang sakti. Ketika Buyut Cili moksa, desa dilanda wabah penyakit. Mbah Sapuah didatangi Buyut Cili dalam mimpinya, berpesan agar Mbak Sapuah meruwat desa (idher bumi) dengan barong. Buyut Cili juga berpesan agar dibuatkan dua makam (petilasan) sebagai tempat Buyut Cili. Hingga saat ini, slametan Buyut Cili masih rutin dilaksanakan, yaitu pada hari Kamis dan Minggu sore.

Perjalanan hari ini diakhiri dengan treking dari Petilasan Buyut Cili ke Pesinauan Osing, melewati sawah, kebun jagung, dan kebun kentang jembut (ubi kemili). Kembali ke Pesinauan Adat Osing, kembali kami melihat latihan tari Gandrung. Kali ini diikuti juga oleh anak-anak. Tari Gandrung semakin berkembang, bahkan ada yang baru diciptakan. Salah satunya adalah Gandrung Sabuk Mangir yang ditarikan oleh penari perempuan dengan gerakan yang sangat gagah dan bersemangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published.