Merekam Subak di Kawasan Adat Dalem Tamblingan

Merekam Subak di Kawasan Adat Dalem Tamblingan

Subak (sistem irigasi) sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa karena masyarakat adat tersebut menghormati air dan mempunyai keyakinan yang disebut Piagem Gama Tirta. Bukan hanya masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang menerima manfaat atas keberadaan subak yang sumber airnya berasal dari Alas Mertajati dan Danau Tamblingan, melainkan juga masyarakat lain di luar Wilayah Adat Dalem Tamblingan. Ada dua subak besar yang sumber airnya berasal dari hutan dan danau Tamblingan, yaitu Subak Mendaum I di Kecamatan Busung Biu dan Mendaum II yang meliputi Kecamatan Seririt dan Banjar. 

Para petani di Jatiluwih juga meyakini bahwa sumber air mereka berasal dari kawasan Adat Dalem Tamblingan. Itu sebabnya tanda pengakuan UNESCO atas subak di Bali sebagai Warisan Budaya Dunia terletak di Desa Gobleg sebagai bagian dari Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa. UNESCO bukan hanya mengakui sawah sebagai Warisan Budaya Dunia, melainkan subak sebagai sebuah ekosistem. Sawah tidak bisa berdiri sendiri, karena itulah sesungguhnya melindungi sawah artinya melindungi seluruh wilayah ekosistem pendukungnya.

Hal ini disampaikan oleh Putu Ardana, Ketua Baga Raksa Alas Mertajati kepada peserta Journalist Trip yang diikuti oleh jurnalis dari Reuters dan Harian Kompas, RRI (Rights Resources Initiative), WGII (Working Group of ICCAs Indonesia), juga Yayasan Wisnu. Kunjungan dilakukan selama tiga hari, pada tanggal 18 – 20 September 2023 sebagai upaya untuk melihat upaya konservasi yang dilakukan masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa pada Alas Mertajati, baik nilai dan laku konservasi yang diwariskan, maupun upaya konservasi kekinian ala generasi muda. 

Pada saat diskusi bersama kelompok subak di Bale Melajah Alas Mertajadi, Made Ardika sebagai Kelian Subak menjelaskan bahwa ada dua jenis subak di kawasan Adat Dalem Tamblingan, yaitu subak sawah (subak bangket) dan subak kebun (subak abian). Pimpinan subak Catur Desa dinamakan Sedahan Subak Catur. Ada beberapa jenis padi yang ditanam, di antaranya padi lokal beras merah yang dianggap sakral. Padi ini ditanam pada awal Januari, jika ditanam di luar bulan tersebut akan gagal panen. Saat Lilitan Karya – upacara yang dilakukan setiap dua tahun sekali selama empat bulan – anggota subak wajib mempersembahkan sarin taun sebagai bentuk insentif atas air yang sudah mereka terima, berupa beras merah, beras putih, ketan putih, dan ketan hitam.

Saat kunjungan ke Desa Umejero, yaitu desa yang 29 are sawahnya didedikasikan untuk kebutuhan upacara (uma duwe), kembali dijelaskan bahwa penanaman padi lokal beras merah tidak diintervensi oleh pemerintah, berbeda dengan padi C4. Pemerintah menekankan untuk menanam padi tiga kali dalam setahun. Dalam setahu, hasil padi C4 lebih banyak dari beras merah, sehingga ada subak yang memutuskan untuk tidak lagi menanam beras merah, seperti Subak Munduk. Luas uma duwe-pun semakin berkurang. Secara umum, luas sawah di Desa Umejero juga sudah berkurang dari 75 hektar menjadi 17 hektar, berubah menjadi kebun cengkeh. 

Atas dasar ekonomi, masyarakat Catur Desa lebih memilih menanam pohon cengkeh dibanding menanam padi. Bahkan juga mengganti pohon-pohon besar lainnya dengan cengkeh. Subak pun menghadapi permasalahan, air yang mengalir jauh lebih kecil karena adanya penebangan pohon-pohon besar. Ditambah lagi, ada lahan terbuka seluas 15 hektar milik pihak luar di dalam hutan. Saat ini juga terjadi pengambilan (pencurian) air danau. Setiap musim hujan, air blabar mengalir cukup besar karena pohon besar seperti cemara pandak sebagai pengikat tanah semakin berkurang. Danau mengalami pendangkalan, akibatnya air danau menjadi cepat tinggi.

Permasalahan yang dihadapi subak hanya sebagian dari permasalahan yang dihadapi masyarakat Adat Dalem Tamblingan, termasuk dalam upaya mengembalikan status Alas Mertajati sebagai hutan adat. Segala permasalahan yang ada dihadapi dengan cara strategis, yaitu melalui pembentukan Baga Raksa Alas Mertajati, lembaga penjaga dan pemelihara hutan dan danau Tamblingan, yang sebagian besar anggotanya adalah generasi muda. Lembaga ini telah memiliki rencana kerja yang melingkupi ruang-ruang konservasi, ekonomi, pendidikan, dokumentasi, dan jejaring. 

Ruang-ruang tersebut juga menjadi bagian dalam kunjungan dan diskusi Journalis Trip. Para jurnalis dan peserta lainnya juga melakukan perjalanan ke Alas Mertajati dan Danau Tamblingan, berdiskusi dengan menega – para penjaga hutan dan danau Tamblingan, serta berkunjung dan berdiskusi dengan Kelompok Wanita Tani di Umejero yang mempunyai usaha pengolahan keripik pisang dan pengolahan kopi. Melalui kunjungan ini, diharapkan akan semakin banyak pihak yang memahami serta ikut mendukung cita-cita dan kerja-kerja konservasi masyarakat Adat Dalem Tamblingan melalui Baga Raksa Alas Mertajati.

Leave a Reply

Your email address will not be published.