Bagian Pertama – Refleksi Mass Tourism di Bali Bersama Mahasiswa Toyo University
Jaringan Ekowisata Desa (JED) mendapat kesempatan untuk memfasilitasi kunjungan belajar terkait Community-Based Tourism (CBT) dari Universitas Toyo, Jepang. Mahasiswa-mahasiswi berjumlah 18 orang dan 1 orang professor pendamping menjelajahi Bali selama 10 hari dimulai dari tanggal 2 – 11 September. Adapun desa-desa yang menjadi destinasi kunjungan belajar ini antara lain Banjar Adat Kiadan – Desa Plaga, Desa Pedawa, Adat Dalem Tamblingan, Desa Jatiluwih, dan Desa Tenganan Pegringsingan.
Kegiatan Hari Pertama – 2 September 2024
Setelah selesai makan siang, para mahasiswa dan mahasiswi mengunjungi Museum Bali, museum ini terletak di jantung Kota Denpasar berdekatan dengan lapangan puputan Badung. Kunjungan ini dipandu oleh salah satu petugas dari UPTD Museum Bali. Di sini para peserta mendapatkan gambaran umum terkait Bali dari sisi budaya dan peninggalan-peninggalan prasejarah yang ditemukan di Bali. Beberapa hal yang bisa dilihat di museum ini antara lain:
- Gedung Timur, kunjungan pertama diawali di Gedung Timur lantai 1. Terdapat banyak sekali peninggalan prasejarah, sejarah, serta berkaitan dengan puncak-puncak kebudayaan Bali. Gedung Timur lantai I, memamerkan benda-benda koleksi peninggalan zaman prasejarah yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) masa yaitu:
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Sedangkan koleksi Zaman Sejarah dikelompokkan menjadi tiga periode yaitu:
- Zaman Bali Kuno
- Zaman Bali Pertengahan
- Zaman Bali Baru
Adapun hal-hal yang dapat diamati adalah adanya sarkofagus yang dipergunakan sebagai peti mati, ada berbagai jenis pahat untuk memotong hewan, ada beliung atap yang digunakan untuk bercocok tanam, kapak corong sebagai alat pertanian, mata tombak sebagai alat peperangan, tahta batu sebagai tempat duduk kepala suku, perhiasan perunggu, fragmen perunggu sebagai media pemujaan, guci keramik untuk tempat kosmetik, stupika untuk pemujaan, prasasti serta patung-patung perwujudan untuk pemujaan.
Tour kemudian dilanjutkan ke Gedung Timur, lantai 2. Ruangan ini memamerkan benda koleksi yang berkaitan dengan puncak-puncak kebudayaan Bali dalam berbagai aspek kehidupan. Puncak-puncak kebudayaan Bali dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan diantaranya: aspek religi, kesenian seperti seni rupa meliputi seni patung, lukis, seni karya (arsitektur), pertanian, tekstil, dan teknologi modern. Benda-benda koleksi etnografi diantaranya benda pusaka, perlengkapan upacara agama, tari wali, dan bangunan suci. Penataan koleksi Museum Bali cukup bisa mewakili kebudayaan yang tersebar di Bali. Dengan melihat tata pameran koleksi Museum Bali, para mahasiswa bisa membayangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Bali secara sekilas seperti upacara pengabenan, upacara potong gigi, upacara 3 bulanan, selonding, alat untuk membajak sawah tradisional, mesin cag-cag untuk menenun, dan alat pintal kapas. Peserta sangat takjub saat mendengar besarnya biaya yang dikeluarkan untuk upacara Ngaben terutama untuk pendeta dan raja-raja.
- Gedung Buleleng memamerkan perkembangan alat tukar sebelum dan sesudah uang kepeng di Bali. Hal ini ditinjau dari sejarah kabupaten Buleleng yang merupakan tonggak awal perekonomian di Bali. Jenis-jenis uang kepeng yang dipamerkan seperti uang kepeng arjuna, konon dipercaya bisa memikat wanita jika menyimpan pis arjuna ini. Uang kepeng lainnya yaitu pis bulan, pis surya, dan pis gobog majapahit.
- Gedung Karangasem memamerkan Cili sebagai lambang kesuburan yang dipercaya sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat Bali dan dipakai di beberapa bidang seperti pada ritual agama sampai seni bangunan.
- Gedung Tabanan yang dari segi sejarahnya digunakan untuk memamerkan pusaka atau benda-benda yang disakralkan dan dalam pameran ini memamerkan perkembangan keris sebagai mahakarya nusantara, sejarah, bentuk serta penggunaanya sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Bali, baik dalam upacara keagamaan maupun sebagai alat perlindungan diri. Keris yang disimpan di gedung ini memiliki beragam bentuk ada yang berbentuk lurus dan yang bergelombang.
Kegiatan Hari Kedua – 3 September 2024
Sesi di pagi hari para mahasiswa mendapatkan materi dari JED dan Yayasan Wisnu. Sebelum mendengarkan materi yang akan dipaparkan, para mahasiswa diberikan kesempatan untuk memperkenalkan dirinya masing-masing dan alasan memilih jurusan global dan regional studies. Rata-rata yang mengikuti program dan belajar di jurusan ini karena ingin mendalami isu politik, community development, pariwisata, budaya dari berbagai negara, serta pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan dan selaras dengan alam. Para mahasiswa juga dibagi menjadi beberapa grup dan mendapatkan tugas terkait upacara, ritual seperti ngaben, pakaian adat, sistem subak, dan community-based tourism.
Adapun materi yang diberikan dari Yayasan Wisnu mengenai kesejarahan Wisnu, kerja-kerja dan tantangan yang sudah dilakukan Yayasan Wisnu di berbagai komunitas tapak seperti pemetaan wilayah, sejarah pariwisata di Bali, filosofi Tri Hita Karana, dan kebudayaan Bali secara umum. Hal yang paling penting adalah bagaimana masyarakat di desa mengenali wilayah dan potensi yang dimiliki. Materi-materi tersebut disampaikan oleh Bapak Made Suarnatha sebagai pendiri dan ketua pembina Yayasan Wisnu. Materi tentang JED diberikan oleh Bapak Gede Sughiarta. Materi JED lebih menerangkan sejarah JED, tujuan pembentukan JED, konsep ekowisata dan menerangkan bahwa pariwisata merupakan bonus dari apa yang sudah ada di desa.
Di sesi akhir peserta juga mendapat pembekalan mengenai etika berkunjung ke Desa dan gambaran umum kondisi yang akan ditemui di desa. Sesi pembekalan diberikan oleh Bapak Wayan Sadyana, Dosen Sastra Jepang di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) sekaligus pendiri Pondok Literasi Sabih yang akan dikunjungi pada tanggal 5 September. Peserta juga mendapatkan penjelasan singkat mengenai Desa Pedawa, dimana desa ini memiliki 9 situs sarkofagus dan ritual pitra yadnya yaitu Upacara Ngangkid. Upacara ini merupakan upacara kematian ala Desa Pedawa. Upacara Ngangkid merupakan suatu pelaksanaan korban suci kepada arwah dengan jalan mengangkat roh dari Sungai Pengangkidan untuk selanjutnya diwujudkan (kadegang) pada Kunduh. Kunduh adalah perwujudan roh (semacam sekah). Tujuan diadakannya Upacara Ngangkid adalah agar arwah mencapai alam para dewa dan sebagai pembayaran hutang sentana kepada leluhur. Upacara ini biasanya dilakukan setiap 5 tahun sekali. Selain itu para mahasiswa dijelaskan beberapa kemiripan antara pura di Bali dengan kuil Shinto yang ada di Jepang seperti pelinggih mirip dengan sessha dan pelangkiran mirip dengan kami dana. Di sore hari para mahasiswa diantar mengunjungi pantai Sanur dan tempat penangkaran penyu.