Bagian Kedua – Refleksi Mass Tourism di Bali Bersama Mahasiswa Toyo University

Bagian Kedua – Refleksi Mass Tourism di Bali Bersama Mahasiswa Toyo University

Kegiatan Hari Ketiga – 4 September 2024

Sesampainya di Kiadan peserta disambut oleh Bapak Gede Wirata selaku pemandu kegiatan trekking. Peserta disuguhkan kopi lok, kopi khas Kiadan yang diseduh di dalam kendi tanah liat. Peserta mahasiswa dijelaskan berbagai jenis kopi yang ditanam di kebun masyarakat, sistem penanamannya dan cara pengolahan kopi. Peserta juga diminta untuk memilah kopi petik merah dan mempraktikkan pengupasan kulit kopi. Setelah berkegiatan di kebun kopi, peserta berkesempatan untuk melihat langsung salah satu rangkaian prosesi pengabenan masal yang dilakukan oleh masyarakat Kiadan yaitu upacara Ngangkid/Ngeplugin. Ada sekitar 25 keluarga yang mengikuti prosesi ngaben massal ini. Upacara ini biasanya dilakukan setiap 5 tahun sekali. Dalam upacara Ngangkid, jasad yang digali hanya berupa simbolis dan diganti dengan batang pohon pisang. Rangkaian akhir dari upacara Ngaben disebut upacara memukur yang bertujuan untuk menyucikan atma atau jiwa agar bisa berstana di Pura Kemulan. Para mahasiswa kemudian juga dijelaskan konsep sapta loka, tujuh lapisan kosmologi dalam agama Hindu yang harus dilewati oleh umat manusia untuk mencapai tingkatan tertinggi moksa. Sapta loka yaitu Bhur Loka, Bwah Loka, Swah Loka, Tapa Loka, Jana Loka, Maha Loka, dan Satya Loka.

Sore harinya peserta juga mengunjungi salah satu kedai kopi yang ada di Kiadan dan membeli kopi Kiadan untuk oleh-oleh. Malam harinya peserta menyaksikan tari joged bumbung serta mencoba untuk ngibing. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi kemudian menampilkan tarian Jepang. Para mahasiswa dan dosen pendamping kemudian bermalam di rumah warga dan merasakan kehidupan masyarakat Kiadan serta berinteraksi dengan penduduk lokal. 

Dari diskusi singkat yang dilakukan keesokan harinya, peserta tertarik dengan sistem subak (sistem pengairan) yang ada di Bali. Di Bali ada dua sistem persubakan yaitu subak basah dan subak kering. Subak basah lebih terkait dengan pengelolaan usaha tani di sawah, mulai dari pengolahan lahan, panen, hingga pasca panen. Sedangkan subak kering mengatur pengelolaan lahan di ladang, perkebunan, atau kehutanan. Subak di Kiadan masuk dalam kategori subak kering yaitu perkebunan kopi. Semua petani yang ada di Kiadan masuk ke dalam organisasi subak. Rata-rata petani di Kiadan masih menjaga lahannya untuk bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Syarat menjadi anggota subak yaitu harus memiliki lahan paling sedikit 10 are.

Kegiatan Hari Keempat – 5 September 2024

Hari keempat peserta kemudian menuju Desa Pedawa. Peserta disambut di rumah adat Desa Pedawa yang disebut Bandung Rangki. Sebelum masuk ke dalam Bandung Rangki, ada proses ritual meseban yang harus dilewati. Ritual ini bertujuan untuk membersihkan diri dari energi negatif yang ada di luar rumah. Peserta kemudian dijelaskan terkait arsitektur dan fungsi-fungsi yang ada di Bandung Rangki. Selain Bandung Rangki, rumah adat lainnya adah Mesegali dan Sri Dandan. Namun sayangnya rumah adat mesegali dan sri dandan sudah punah. Jumlah rumah adat Bandung Rangki saat ini adalah 25 unit, dimana 2-unit yang ada sebelumnya sudah mendapatkan bedah rumah permanen. Di dalam bangunan rumah adat bandung rangki terdapat tempat tidur utama, dapur, dan tempat pemujaan menjadi satu dalam satu ruangan tanpa sekat. Tempat tidur di dalam bandung rangki ada dua jenis yaitu pedeman gede dan pedeman cenik. Bale gede atau pedeman gede yang berfungsi untuk tempat tidur orang tua dan juga berfungsi sebagai bale banten (tempat menaruh sesajen) pada saat ada upacara keagamaan maupun untuk tempat menidurkan mayat jika ada kematian. Bale cenik atau pedeman alit diperuntukkan untuk tempat tidur anak-anak. Posisi tempat tidur untuk anak-anak berada setelah dapur atau sejajar dengan tempat menyimpan perkakas. 

Para mahasiswa juga dapat melihat atraksi memanen cengkeh. Setelah selesai di Bandung Rangki para peserta kemudian mengunjungi Pondok Literasi Sabih yang didirikan ole Bapak Wayan Sadyana, Dosen Sastra Jepang di Undiksha. Peserta berkesempatan untuk belajar membuat canang, menari bali, dan mencoba permainan gasing. Sore harinya peserta melihat atraksi sapi gerumbungan dan juga mencoba untuk ditarik sapi gerumbungan. Atraksi ini biasanya diselenggarakan setelah panen untuk menghibur para petani dan menghibur Dewi Sri serta sebagai wujud syukur terhadap hasil padi yang sudah diberikan. Sayangnya tradisi sapi gerumbungan ini terancam punah karena kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan tradisi ini. Peserta kemudian diantar ke homestay milik penduduk lokal untuk menginap. Para mahasiswa juga membawa oleh-oleh atau kenang-kenangan untuk dihadiahkan ke pemilik rumah. Keesokan harinya ada diskusi singkat dengan tetua adat Pedawa, peserta tertarik terkait sumber air yang digunakan untuk mengairi sawah dan alasan menjalankan ekowisata di Desa Pedawa. Ekowisata dipilih karena masyarakat ingin mempertahankan keunikan dan otentitas Pedawa dengan tidak membangun villa dan hotel-hotel baru.

Masih lanjut Hari Kelima dan Keenam…

Leave a Reply

Your email address will not be published.