Bagian Kedua – Refleksi Mass Tourism di Bali Bersama Mahasiswa Toyo University
Kegiatan Hari Kelima – 6 September 2024
Trip selanjutnya adalah peserta mengunjungi Danau Tamblingan dan Hutan Alas Mertajati. Para mahasiswa mendapatkan pengalaman untuk menaiki pedahu dan trekking di hutan. Sesi diskusi dilakukan di Bale melajah Danau Tamblingan bersama anggota BRASTI (Baga Raksa Alas Mertajati) dan Tetua Masyarakat. Sesi diskusi membahas terkait perjuangan masyarakat adat Tamblingan untuk mengklaim kembali hutan adatnya yang saat ini masih berstatus hutan negara. Alas Mertajati yang memiliki luas sekitar 1.300 hektar masuk ke dalam kawasan Cagar Alam Batukau. Kawasan ini dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam sebagai Taman Wisata Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Cagar Alam Batukau seluas sekitar 16.000 hektar ini merupakan penyuplai 1/3 kebutuhan air untuk Bali. Sayangnya setelah kawasan Alas Mertajati ditetapkan sebagai TWA, hutan mengalami degradasi, banyak sekali terjadi penebangan dan perburuan liar. Beberapa pohon, flora, dan satwa endemik sudah punah, seperti ijah atau monyet hitam. Selain itu, karena berstatus TWA banyak turis datang dan melakukan kegiatan wisata seperti camping dan foto pre wedding, padahal kawasan hutan ini merupakan kawasan yang sangat disucikan oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan. Hal itulah yang menjadi dasar untuk memperjuangkan kembali status hutan menjadi hutan adat sehingga upaya pelestarian hutan alas mertajati sebagai sumber kehidupan ini bisa dilakukan secara optimal.
Kegiatan hari Keenam – 7 September 2024
Jatiluwih merupakan wilayah yang terkenal akan terasering sawahnya. Para mahasiswa melakukan tracking sawah yang ditemani oleh dua orang pemandu lokal. Salah satu pemandu yaitu Pak Sweden merupakan salah satu pioneer kegiatan ekowisata di Desa Jatiluwih. Peserta diperkenalkan sistem subak dan ritual-ritual yang harus dijalankan oleh petani dari sebelum menanam hingga pasca panen padi. Ada 15 ritual yang dilakukan oleh petani di Jatiluwih antara lain:
- Mapag Toya: Upacara untuk menjemput air dari sumber air untuk persiapan menanam padi. Tujuan upacara ini adalah memohon kehadapan Tuhan agar diberkati air yang cukup untuk keperluan mengerjakan sawahnya.
- Mungkah Pratiwi: Upacara sebelum memulai bekerja di sawah, dilaksanakan oleh petani pada saat mulai mengolah atau mengairi sawahnya.
- Ngurit Semaian: Upacara yang dibuat saat petani mulai menyemai atau membuat bibit padi. Tujuan dari upacara ini adalah memohon agar bibit padi yang dibuat dapat tumbuh dan menghasilkan padi yang baik.
- Nuasen: Upacara yang dilakukan saat petani akan mulai menanam padi di sawah. Tujuan dari upacara ini adalah sebagai pemberitahuan bahwa petani akan mulai menanam padinya dan memohon kehadapan Dewi Sri agar beliau berkenan melinggih atau bersemayam di sanggah pengalapan serta melindungi dan memelihara tanaman padi petani sehingga dapat tumbuh dengan baik dan subur.
- Mubuhin: Upacara ini dilaksanakan setelah petani menaman padi.
- Ngerorasin: Setelah padi berumur 12 hari, upacara ini dilakukan untuk memohon agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik.
- Nangluk Merana: Upacara dilaksanakan setelah 1 bulan penanaman padi agar subak-subak di Desa Jatiluwih tidak mengalami serangan hama dan penyakit tanaman padi.
- Nipatin: Upacara ini dilaksanakan pada saat padi berumur satu bulan tujuh hari (42 hari).
- Nyepi: Setelah padi tumbuh berumur 42 hari, krama subak kemudian secara serempak mengadakan penyepian. Krama tidak diperbolehkan melakukan aktivitas apapun di areal sawah sehingga diharapkan energi negatif bisa hilang.
- Ngatapang: Upacara ini dilaksanakan setelah padi berumur 2 bulan untuk perkembangan padi yang baik.
- Mabiu Kukung: Upacara ketika padi sudah berumur 3 bulan, memohon agar hasil padi bisa berlimpah.
- Ngusaba: Upacara yang dilaksanakan menjelang panen agar bisa diberikan hasil panen yang berlimpah.
- Panen: Upacara yang ditujukan kehadapan Dewi Nini/Dewi Sri untuk menyampaikan rasa syukur dari hasil panen yang diperoleh dan proses tanam yang telah berjalan dengan baik.
- Mantenin: Upacara dilaksanakan saat padi sudah disimpan di dalam lumbung, menyampaikan rasa syukur karena padi sudah dapat disimpan dengan baik.
- Nedunan padi: Setelah padi di dalam lumbung selama 3 hari, padi diturunkan sedikit dan dilakukan upacara yadnya sebagai simbolis agar padi tidak cepat habis.
Sistem ritual yang dilaksanakan oleh krama subak ini merupakan bentuk penerapan dari filosofi Tri Hita Karana. Di Jatiluwih sendiri ada dua jenis padi yang ditanam yaitu jenis padi lokal/Bali (beras merah cendana) dan jenis padi hibrida. Biasanya beras merah ditanam pada bulan Desember sampai Januari sedangkan beras hibrida ditanam pada bulan Juli. Beras merah sudah menjadi gerak laku masyarakat Jatiluwih dan sangat dijaga keberadaannya. Apabila beras merah ini hilang maka rangkaian sejarah dan budaya masyarakat Jatiluwih juga akan hilang. Beras merah ini masih dipanen manual menggunakan alat tradisional yang disebut Ani-ani. Di salah satu gubuk petani, mahasiswa juga dikenalkan alat tradisional untuk membajak sawah yaitu tenggala. Tempat-tempat ritual utama krama subak Jatiluwih antara lain sanggar catu yang ada di masing-masing lahan sawah, Pelinggih Ulun Empelan yang berada di sumber air, Pura Bedugul dan Pura Ulun Suwi. Selain pura-pura tersebut, masyarakat juga melakukan ritual ke Pura Ulun Danu Beratan, Pura Ulun Danu Batur, serta rutin melaksanakan pekelem di Danau Tamblingan. Masyarakat percaya sumber air yang diperoleh untuk mengairi sawah berasal dari air danau. Salah satu sumber mata air yang dipercaya berasal dari Danau Tamblingan adalah kelebusan lis.
Petani harus mematuhi aturan penanaman yang tertuang di dalam awig-awig dan perarem. Proses penanaman padi harus dilakukan serempak dan petani hanya diberikan waktu tenggat keterlambatan selama 2 minggu untuk menanam. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kerugian yang besar dari gagal panen akibat terserang hama. Masyarakat juga meyakini apabila sawah terserang hama seperti tikus maka ada suatu kesalahan yang dilakukan oleh petani tersebut.
Setelah susur sawah, para mahasiswa kemudian diarahkan ke salah satu atraksi lokal yang terkenal di Jatiluwih yaitu Lazy River. Selain menikmati pemandangan sawah, Gunung Batukaru dan suasana sungai bersih, pengunjung juga bisa mencoba permainan water tubing dan bersantai di atas ban.
Kegiatan selanjutnya adalah mengunjungi homestay milik Bapak Suweden dan mencoba makanan lokal seperti jukut ares dan sambal kecombrang serta beras merah. Setelah makan siang peserta melakukan diskusi singkat dengan Pak Suweden. Peserta tertarik mengenai dampak yang diterima oleh Jatiluwih setelah mendapat pengakuan dari UNESCO. Menurut Pak Suweden tentu dampak yang dirasakan adalah bertambahnya pendapatan dari kunjungan wisatawan namun disisi lain juga adanya kekhawatiran terkait alih fungsi lahan serta berkurangnya debit air. Selain itu pendapatan dari hasil kunjungan wisatawan masih sangat kecil dirasakan dampaknya oleh petani karena persentase untuk subak hanya sekitar 25% (persentase yang didapatkan ini sudah dipotong untuk manajemen operasional, untuk diberikan ke pemerintah Kabupaten Tabanan, Desa Adat Jatiluwih, Desa Adat Gunungsari, dan Desa Dinas Jatiluwih). Dari persentase tersebut dibagi kembali ke 7 subak yang ada di Jatiluwih sehingga masing-masing subak hanya mendapatkan sekitar 3-4%. Hal tersebut dikeluhkan oleh para petani, padahal para petani inilah yang menjadi ujung tombak dalam pelestarian subak di Jatiluwih.
Selain itu peserta juga menanyakan terkait regenerasi petani dan ketertarikan anak-anak muda untuk bertani. Berdasarkan penjelasan Pak Suweden memang minat generasi muda sudah berkurang untuk bertani, walaupun demikian anak-anak tetap diajarkan untuk bertani sehingga ketika mereka tidak mendapatkan pekerjaan di kota, mereka masih bisa kembali ke desa. Anak-anak yang bersekolah ke luar desa biasanya juga membantu keluarganya di sawah ketika mereka libur sekolah, jadi pengetahuan bertani masih bisa diturunkan ke generasi berikutnya. Walaupun pekerjaan utama mereka adalah dokter, mereka juga tetap memiliki pengetahuan bertani. Kepemilikan sawah dan lahan di Jatiluwih masih didominasi oleh masyarakat lokal, walaupun beberapa sawah sudah dialihfungsikan menjadi penginapan dan restoran. Alih fungsi lahan sudah terjadi sekitar hampir 30% dan beberapa sawah juga sudah mengalami kekeringan sehingga tidak bisa difungsikan kembali. Setelah diskusi peserta kemudian menikmati keindahan air terjun Yeh Ho.
Masih lanjut lho Hari Ketujuh dan Kedelapan…