Membangun Kepemimpinan melalui CO

Membangun Kepemimpinan melalui CO

Sejak tahun 2000 Yayasan Wisnu bekerja sama dengan desa/desa adat untuk membangun pikiran kritis masyarakat dan berpartisipasi secara nyata di ruang-ruang komunitas. Wisnu kemudian menjalankan kegiatannya sesuai dengan rencana strategi baru menuju terbentuknya masyarakat yang mampu melestarikan dan mengelola sumberdaya alam secara berkeadilan. Strategi yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan konsep CO (Community Organizing). CO atau Pengorganisasian Masyarakat adalah pengembangan yang mengutamakan pembangunan kesadaran kritis dan penggalian potensi pengetahuan lokal masyarakat. 

Pengorganisasian masyarakat mengutamakan pengembangan masyarakat berdasarkan dialog atau musyawarah yang demokratis. CO menekankan pada pengembangan kesadaran masyarakat, sehingga mampu mengelola potensi sumberdayanya. Secara umum, metode yang dipergunakan dalam pengorganisasian masyarakat adalah penumbuhan kesadaran kritis, partisipasi aktif, pendidikan berkelanjutan, serta pembentukan dan penguatan pengorganisasian masyarakat. Semua itu bertujuan untuk melakukan transformasi sistem sosial yang dipandang menghisap masyarakat dan menindas (represif). Tujuan pokok pengorganisasian masyarakat adalah membentuk tatanan masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan (civil society) yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, adil, terbuka, serta berkesejahteraan ekonomi politik dan budaya. 

Berbagai cara/media dapat digunakan dalam melakukan Pengorganisasian Masyarakat, termasuk aneka jenis media kreatif, seperti film. Maka, pada pelatihan Membangun Kepemimpinan Generasi Muda melalui Pengorganisasi Masyarakat yang dilakukan tanggal 10-11 April 2024 di Bugo Camp Gobleg, film The Burning Season dipilih sebagai media pelatihan. Film yang diproduksi tahun 1994 ini mengisahkan perjuangan Francisco “Chico” Mendes dalam melindungi hutan hujan Amazon sebagai ruang hidupnya. Sekitar 40 anak muda dari Nusa Penida, Penarungan, Nyambu, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan, dan Adat Dalem Tamblingan memperhatikan film yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini dengan seksama. 

Setelah menonton, para peserta mengungkapkan apa yang dirasakan. Emosi, prihatin, sedih, marah, takut tapi semangat, bingung, dan tegang dirasakan para peserta ketika menonton. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa dirinya tidak siap jika mempunyai suami seperti Chico Mendes, para investor dan antek-anteknya tidak punya rasa, dan membayangkan hutan Amazon addalah lahan-lahan “adat” dikuasai oleh orang yang memiliki banyak uang. Film ini sangat related dengan kondisi saat ini yang terjadi di desa, terutama di kawasan Tamblingan dan di Desa Nyambu. 

Peserta kemudian dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan desanya, yaitu Nusa Penida, Penarungan, Nyambu, Tenganan Pegringsingan, Dukuh Sibetan, dan Adat Dalem Tamblingan. Setiap kelompok harus mengaitkan isi film dengan kondisi desanya, yaitu: 

  • What: yang terjadi di ruang hidup (desa, pulau, kawasan) dan di tingkat global
  • Who: yang dirugikan/diuntungkan/memiliki kepentingan dan yang terlibat
  • When: muncul kesadaran atas masalah, mulai membangun organisasi, dan melakukan aksi (advokasi, konfrontasi, dan negosiasi)
  • Why: terjadi ketidakadilan, perlawanan/perjuangan, dan kekalahan/kemenangan
  • Where: terjadi ancaman dan melakukan aksi
  • How: menumbuhkan kesadaran, membangun kesepakatan (internal/eksternal), dan mencapai tujuan.

Ada banyak hal yang sangat related dengan kondisi desa karena sangat mirip, di mana terjadi tekanan dalam hal nilai-nilai budaya, alih kepemilikan lahan, dan pengkerdilan harga diri. Keberadaan serta peran para aktor harus dipetakan dan dianalisis ketika melakukan pengorganisasian. Hal penting yang juga penting untuk dilakukan adalah membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat. Ada berbagai media yang bisa digunakan, di antaranya melalui radio komunitas, kaos, brosur dan poster. Ironisnya, ketika ada orang desa yang dianggap sudah teredukasi, justru merekalah yang menjadi musuh bagi masyarakat desa itu sendiri. 

Secara umum, Bali sedang menghadapi kondisi yang memprihatinkan. Pariwisata menjadi bagian dari swasta, merupakan wajah lunak dari kapitalisme. Masyarakat Bali dibuat terlena dan tidak sadar akan ancaman kematian, seperti kodok yang direbus dengan api kecil. Awalnya air terasa dingin, kemudian hangat dan sangat nyaman, dan ketika panasnya semakin tinggi, kodok tidak sadar karena kenaikan suhunya terjadi sangat perlahan. Maka, ketika air sudah semakin panas, kodok sudah tidak mampu lompat keluar dan akhirnya mati. Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah membangun kesadaran dalam mengelola sumber daya kehidupan, misal menyadarkan anak muda untuk kembali mengelola lahan pertanian.

Setelah makan malam, lima orang peserta mendapat kesempatan berbagi. Mereka adalah anak muda yang mendapatkan pengalaman mengikuti kegiatan di luar Bali, bahkan di luar Indonesia. Tema yang diangkat pada umumnya adalah terkait dengan masyarakat/pemuda adat dan perubahan iklim:

  1. 2nd Asia Parks Congress “Parks for Nature and People” dan Konggres Masyarakat Adat Nusantara VI (Ketut Santi Adnyana – Brasti, Tamblingan)
  2. Indigenous Youth Leadership (Aditya Permana – Dukuh Sibetan, Rio Wedayana – Tenganan, Dwitasari – Wisnu, mewakili MA Tamblingan)
  3. Training Good Facilitators for Youth (Era Patricya – Brasti, Tamblingan)
  4. COP 28 UN Climate Meeting (Andra Drupadi – Brasti, Tamblingan)
  5. Asia Pacific Climate Week (road to COP 28 Dubai) dan ICCAs Consortium’s Annual Southeast Asia Region Assembly (Rio Wedayana – Tenganan Pegringsingan)

Hal menarik dari yang disampaikan oleh mereka yang diundang ke luar negeri adalah sebagian besar masyarakat adat di dunia mengetahui jika pemerintah Indonesia tidak mendukung keberadaan masyarakat adat-nya. Padahal, dunia sudah menyadari jika keberadaan hutan, termasuk hutan yang dilabeli sebagai taman nasional atau taman wisata, keutuhannya justru dijaga oleh masyarakat adat/lokal. Berita baiknya adalah, bukan hanya pemerintah Indonesia yang tidak mendukung masyarakat adatnya, itu sebabnya masyarakat adat termasuk dalam kategori kelompok rentan (berdasarkan Rencana Aksi Nasional HAM 2015-2019). 

Maka, para pemimpin muda komunitas atau masyarakat adat harus memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu memengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Putu Wiadnyana dari Tenganan mengatakan, pemimpin sebaiknya memiliki karakter yang merujuk pada kakawin Ramayana, yaitu memiliki delapan sifat (asta brata) yang terkait dengan unsur alam: bumi (pijakan), matahari (energi), bulan (penerang di saat gelap), bintang (memberi arah), air (terbuka menerima masukan), samudra (memiliki wawasan luas), angin (luwes), dan api (adil dan bijaksana).

Keesokan harinya, kegiatan yang ditunggu-tunggu, treking ke Alas Mertajati – menikmati kesegaran udara, melihat keindahan, serta merasakan kesakralan hutan dan danau Tamblingan. Perjalanan dimulai dari Bale Melajah, satu ruang yang difungsikan untuk berkomunikasi dan saling belajar. Tiang Bale Melajah dibuat dari pohon cengkeh yang diambil dari keempat desa (Gobelg, Munduk, Gesing, Umejero), sebagai simbol ADT di Catur Desa. Kawasan ini berperan sebagai penghasil jasa ekosistem, yaitu air bersih, udara bersih, dan bentang alam terjaga. 

Setelah berjalan di hutan dan mendayung di danau, juga setelah makan siang, peserta kembali diminta untuk berdiskusi kelompok. Setiap desa harus merumuskan apa yang akan dilakukan di desa masing-masing setelah pertemuan ini, juga apa yang akan dilakukan di tingkat jaringan. Hampir semua desa berencana untuk mengajak anak muda bergabung dalam kelompok dan terlibat aktif dalam setiap kegiatan. Sementara itu di tingkat jaringan, komunikasi akan terus dilakukan dan saling berbagi informasi. Semangat ..

Kegiatan ditutup oleh Pak Putu Ardana yang menyampaikan pesan penting, yaitu masyarakat adat/komunitas harus menjadi pemain utama di tanah sendiri. Tujuan pertemuan kali ini adalah untuk belajar berorganisasi supaya terorganisir, baik di tingkat komunitas maupun jaringan masyarakat adat untuk saling bersinergi. Terima kasih kepada Diageo Indonesia yang telah mendukung terlaksananya kegiatan ini, juga Pak Made Suarnatha dan Denik Puriati yang telah memfasilitasi, serta Lisa Ismiandewi yang telah mengkoordinir kegiatan berjalan dengan baik. Semoga para generasi muda desa mampu mengorganisir masyarakat dengan jiwa kepemimpinan asta brata.

Leave a Reply

Your email address will not be published.