GEDSI untuk Kehidupan yang Berkualitas dan Berbahagia
“Sebagai desa adat tua, Tenganan Pegringsingan mempunyai sistem yang berbeda dengan desa lain di Bali. Salah satunya adanya kesamaan status antara perempuan dan laki-laki, di mana keduanya mempunyai hak waris yang sama. Konsep ini juga diadopsi dalam sistem pemerintahan desa adat, yaitu pemimpin desa adat adalah pasangan suami istri.”
Hal tersebut disampaikan Putu Wiadnyana, tokoh muda Tenganan Pegringsingan ketika membuka kegiatan Sosialisasi GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) tanggal 21 Maret 2024 di desanya. Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek Penguatan Ekonomi Desa Adat, bekerja sama dengan Yayasan Wisnu dan didukung oleh The Samdhana Institute. Ibu Mia Siscawati dari Universitas Indonesia sebagai narasumber dan Denik Puriati sebagai moderator mengajak para peserta untuk mengenal GEDSI. Selain dari Tenganan Pegringsingan, peserta berasal dari Dukuh Sibetan, Kiadan Pelaga, Penarungan, Pedawa, Tigawasa, Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa, Nyambu, Tanglad dan Banjar Nyuh Nusa Penida (Rumah Belajar Bukit Keker).
Gender merupakan konstruksi sosial/masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan bertingkah-laku, bersikap, bersifat, berperan, dan berposisi. Konstruksi tersebut “dilekatkan” kepada masing-masing jenis kelamin. Gender juga merujuk pada PEMBEDAAN sifat, peran, serta posisi perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat, serta dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, interpretasi agama, kepercayaan, ekonomi, politik, dll. Ketidakadilan gender mengacu pada situasi di mana seseorang mengalami berbagai bentuk ketidakadilan akibat pembedaan ketat tentang peran dan posisi perempuan dan laki-laki yang dibentuk melalui konstruksi sosial.
Hal menarik disampaikan oleh Pak Sukrata dari Desa Pedawa, bahwa jenis kelamis bayi yang akan dilahirkan bisa diperkirakan sejak dalam kandungan. Jika sang ibu ngidam daging buruan, maka anak yang akan dilahirkan adalah laki-laki. Namun jika ngidam perhiasan, maka anak yang akan dilahirkan biasanya berjenis kelamin perempuan. Maka diyakini hal ini terkait dengan kodrat, padahal sebetulnya adalah norma gender yang dibentuk oleh konstruksi sosial.
Selanjutnya, Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Para penyandang disabilitas selama ini sering mendapatkan perlakuan tidak adil, seperti pelabelan negatif, penomorduaan, marginalisasi, beban berlebih, dan kekerasan.
Padahal, menurut Pak Satya dari Nyambu, walaupun memiliki keterbatasan, para penyandang disabilitas memiliki kelebihan yang sering tidak dilihat orang-orang di sekitarnya. Sementara di beberapa desa, seperti Tenganan, para penyandang disabilitas “remaja” tidak dilibatkan dalam kegiatan teruna atau daha, justru lebih sebagai bentuk penghargaan karena ada banyak kegiatan fisik membawa sesuatu ketika upacara yang dirasa dapat menyulitkan jika dilibatkan.
Sementara itu, eksklusi sosial menggambarkan keadaan di mana individu tidak dapat berpartisipasi penuh dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan kehidupan budaya. Maka, masyarakat perlu melakukan inklusi sosial, yaitu proses peningkatan partisipasi dalam berbagai sendi kehidupan untuk orang-orang yang dirugikan melalui peningkatan kesempatan, akses ke sumber daya, serta penghormatan terhadap hak. Mereka yang dirugikan dapat terjadi atas dasar usia, jenis kelamin, disabilitas, ras, etnis, asal, agama, ekonomi, atau status lainnya.
GEDSI dapat diterapkan melalui dua jalur atau jalur ganda, yaitu melalui pengarusutamaan GEDSI serta melalui pemberdayaan perempuan, kelompok rentan, dan kelompok marjinal. Maka, dari kondisi eksklusif dan diskriminatif serta buta GEDSI, menjadi netral GEDSI, sensitif dan responsif GEDSI, hingga transformatif GEDSI. Kondisi di mana perempuan dan laki-laki hidup berkualitas dan bahagia, demikian juga untuk para penyandang disabilitas.