Desa Minaesa Menilik Ekowisata Desa Perancak dan Budeng

Desa Minaesa Menilik Ekowisata Desa Perancak dan Budeng

Perancak – Budeng, 6 – 7 Oktober 2022


DESA Minaesa terletak di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Bersama MDPI (Masyarakat dan Perikanan Indonesia), aparat desa dan anak muda berencana menjadikan desanya sebagai Desa Ekowisata. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut adalah berkunjung ke Desa Perancak dan Budeng di Jembrana, melihat Ekowisata yang dikembangkan di kedua desa tersebut.

Kegiatan diikuti oleh Sekretaris Desa, Ketua BPD, Direktur BUMDes, Penyuluh Kecamatan, Ketua Pemuda, dan dua orang pendamping dari MDPI. Sebelum melakukan perjalanan ke Desa Perancak, para peserta bertemu lebih dulu di Kantor MDPI di Suwung, mendiskusikan kegiatan yang akan dilaksanakan selama dua hari di bagian barat Pulau Bali.



DESA Perancak
Ekowisata Desa Perancak dikelola oleh Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih yang dibentuk pada tahun 1997. Kelompok ini didirikan karena keprihatinan warga Perancak atas keberadaan penyu saat itu. Penyu banyak diburu dan dijual, bukan hanya untuk dimakan dagingnya, melainkan juga cangkangnya untuk kerajinan dan perhiasan. Bahkan telur penyu juga banyak yang mencari untuk dikonsumsi. Hal tersebut mengakibatkan populasi penyu menjadi jauh berkurang, tidak dapat lagi dilihat dari tepi pantai. Bahkan di tengah laut juga sudah sulit ditemukan.

Pak Anom, Ketua KKP Kurma Asih menceritakan, keluarganya sebagai bagian dari para pemburu penyu, sejak tahun 1997 tidak lagi memburu penyu, dan beralih menjadi pelestari penyu. Proses yang sudah dilalui oleh keluarganya sangat panjang, beralih profesi dari pemburu menjadi pelestari, dan mengajak orang lain untuk ikut peduli akan keberadaan penyu.

Saat ini, setelah 25 tahun berjuang melestarikan penyu, jumlah penyu yang mendarat di Pantai Perancak dan sekitarnya untuk bertelur semakin banyak. Namun, beberapa kali penyu ditemukan dalam keadaan sudah mati karena  memakan plastik atau tersangkut sampah plastik. Hal inilah yang kemudian menjadi ketertarikan teman-teman dari Minaesa karena salah satu permasalahan yang dihadapi saat ini di desa adalah sebaran sampah, baik di daratan maupun di areal bakau.

Desa Minaesa sudah menerapkan kebijakan tidak menggunakan botol air mineral dalam setiap pertemuan, sehingga diharapkan dapat mengurangi penambahan jumlah sampah. Namun bungkus kemasan dan penggunaan tas kresek belum menjadi perhatian, maka hal-hal inilah yang juga perlu diperhatikan untuk mengurangi penambahannya.

Setelah berdiskusi, kegiatan dilanjutkan dengan pelepasan tukik. Tidak semua tukik dapat berjalan dengan cepat menuju laut ketika dilepas, dikarenakan sudah beberapa saat menetas. Kaki siripnya tampak lemas dan kaku, sehingga harus dibantu untuk dapat mencapai air laut (apakah di lautan mereka dapat langsung berenang, terutama untuk tukik-tukik yang sulit bergerak?).

Kegiatan selanjutnya adalah mengunjungi produsen ikan Bedetan. Produk dibuat dari ikan lemuru. Ikan dibelah dan dibuang bagian kepalanya (di-bedet), kemudian dibumbui dan dijemur. Ikan dikemas dalam dua kemasan, berisi 9 ekor dalam standing pouch dan berisi 50 ekor dalam kotak mika. Masyarakat Desa Minaesa juga memiliki teknologi pengawetan ikan dengan cara diasinkan. Nantinya perlu dipikirkan kembali resep bumbu awetannya agar tidak terlalu asin dan menyebabkan darah tinggi.


Kunjungan dilanjutkan ke Kelompok Jegog, seni musik khas Jembrana. Jegog menggunakan bambu petung sebagai alat musiknya, bahkan bambu petung yang berukuran sangat besar. Hal yang menarik adalah para penabuh “bass” berjongkok di atas bambu agar bisa menabuh dengan leluasa dan dengan sekuat tenaga.


Kegiatan di Perancak diakhiri dengan susur mangrove/bakau Sungai Perancak menggunakan jukung bermesin tempel. Aneka jenis bakau berukuran besar dan sangat rapat berada di kiri-kanan sungai (sayangnya tidak ada informasi jenis bakaunya), burung dan biawak berukuran besar juga bisa ditemui di pinggiran bakau. Pada bagian dekat muara, jukung-jukung nelayan berderet di tepi sungai, juga perahu besar penangkap ikan yang sering disebut dengan perahu Madura. Menurut informasi, Desa Minaesa juga memiliki sungai dan muara yang diapit oleh areal bakau. Sayangnya pada tahun 1980-an pohon bakau banyak ditebang untuk kayu bakar, sehingga kondisinya saat ini tidak rapat.

Desa Budeng 
Diskusi di Budeng dilakukan bersama Ketua dan Sekretaris KTH (Kelompok Tani Hutan) Wana Lestari. Diskusi banyak membahas tentang aneka jenis bakau yang ada, dan jenis-jenis bakau yang cocok ditanam di Desa Minaesa. Sayangnya saya tidak mencatat jenis-jenis bakau apa saja yang cocok di tanah lumpur atau tanah berpasir. Sepertinya hal yang penting dilakukan adalah mengundang Pak Putu Ketua KTH ke Desa Minaesa untuk bisa menghijaukan kembali areal bakau di desa tersebut.


Areal yang ditumbuhi aneka jenis pohon bakau ini dulunya, sekitar 15 tahun yang lalu, adalah bekas areal tambak ikan. KTH Wana Lestari juga membudidayakan kepiting bakau di dalam areal bakau. Sayangnya, model budidaya yang dikembangkan masih konvensional, yaitu dengan membuat kolam budidaya. Saat ini, sudah ada teknologi budidaya kepiting yang pemeliharaanya dilakukan di antara pohon bakau, tanpa harus membuat kolam khusus dan menebang pohon bakau.

Diskusi dengan Perbekel Budeng juga dilakukan, terutama terkait dengan administrasi desa dan pengelolaan BUMDes. Desa Budeng sudah memetakan wilayah desanya pada tahun 2013 dan menyusun Rencana Kelola Wilayah Desa Budeng pada tahun 2014. Berdasarkan perencanaan desa tersebutlah pembangunan desa dilaksanakan.

Kunjungan ke KTH Wana Lestari Desa Budengan ditutup dengan makan siang yang aduhai dari Warung Mangrove. Sayur alor (daunnya tumbuh di pematang areal bakau), kepiting-udang-kerang bakau. Nyam, rasanya lebih gurih manis dibanding sea food. Menu yang dianggap menyebabkan kolesterol, tetapi tetap aman karena warung ini juga menyediakan teh Donju yang dibuat dari daun bakau jenis jeruju.


Selamat mengidentifikasi, menyusun rencana, dan mengembangkan Desa Minaesa menjadi desa ekowisata, desa yang dikelola oleh masyarakat desa berdasarkan potensi untuk keberlanjutan desa dan kehidupan generasi mendatang. Tamu yang datang adalah bonus, bukan tujuan utama. Salam…

Leave a Reply

Your email address will not be published.